Tuesday, July 29, 2014

Kacamata dan Sepotong Kertas Segitiga Merah

Kacamata dan Sepotong Kertas Segitiga Merah
Oleh: Boy Atlaliust Simangunsong

Ospek. Memang jadi momok yang mengerikan buatku setiap memasuki jenjang baru. SMP, SMA sama saja. Bahkan sampai masuk perguruan tinggi pun aku masih belum bisa mengakrabkan diri dengannya. Apalagi di kampus jingga ini. Judulnya, sih, PKK. Pengenalan Kehidupan Kampus. Tapi, hei, aku udah nggak anak-anak lagi. Udah paham dengan kata ‘pengenalan’ disitu itu maksudnya apa. Penindasan anak-anak baru. Menyebalkan.
Emang, sih, tujuan ospek—yang pada dasarnya baik—untuk mengenalkan lingkungan kampus buat kami anak-anak baru, mengenalkan dan mengakrabkan kami dengan senior dan membuat kami bisa berkenalan dengan sesama mahasiswa baru. Tapi lain buat gadis dengan kepribadian introvert sepertiku. Aku bukan sengak. Aku hanya tak suka keramaian. Aku tak mudah untuk berbaur dengan orang baru, apalagi untuk akrab.
Pra PKK—alias persiapan Ospek—kami diharuskan berkumpul di depan balairung kampus untuk membahas persiapan-persiapan yang harus dibawa pada hari penyiksaan kami nanti. Dari balik kacamataku aku sudah bisa melihat gerombolan manusia di kejauhan, bak semut mengerumuni gula. Kudekati kerumunan itu. Beberapa asyik mengobrol, bercanda dan gadis-gadis nyentrik di sebelah sana bisa kupastikan sedang membahas tren fashion terbaru. Aku mencari posisi nyamanku. Ya, di sudut taman. Jauh dari keramaian.
Setengah jam sudah. Tepat pukul delapan. Waktu yang ditentukan oleh para ‘tetua’ untuk berkumpul dan mereka mulai mengumpulkan kami. Berbaris menurut fakultas masing-masing. Dengan langkah lungkai aku beranjak dari tempatku.
“Hukum… hukum…! Yang fakultas hukum baris di sini!” suara sayup terdengar di tengah hiruk pikuk anak-anak baru yang lalu lalang mencari barisannya. Saat mendekati barisan, langkahku yang tadinya ogah-ogahan sedikit tertahan. Dengan wajah datar dan almamater jingganya dia berdiri gagah di depan barisan kami. Aku menunduk saat pandangan kami hampir bertemu. Ya, tak sempat bertemu. Aku terlalu kaku.
“Hei! Kamu!” ujar seseorang dari depan barisan, “cewek yang pake kacamata…” lanjut suara itu menegur seseorang dan sontak membuatku menoleh kearah datangnya suara itu. “Kamu!” katanya dan aku menunjuk hidungku tanpa berucap sedikitpun, “iya, kamu!” tegasnya.

“A, ada apa ya, Kak?” tanyaku gugup, tak tahu kesalahan apa yang sudah kuperbuat.
“Kok ada apa?” tanyanya balik, masih dengan muka datar. Aku semakin bingung.
“Eummm…” gumamku.
“Kamu masih tetap mau di barisan cowok?” tanyanya santai. Sekejap menyadarkanku dari linglungku. Ternyata dari tadi aku berada di barisan laki-laki. Kulihat sekelilingku dan sekelilingku melihatku. Rasanya seperti jatuh tersandung batu. Bukan sakitnya, malunya itu. Perlahan aku mulai berpindah ke barisan perempuan. Tawa cekikikan mengiringi langkahku.
“Bodooooooh!” teriakku dalam hati. Kuangkat wajahku, pandangan kami bertemu. Dia tersenyum simpul.

–O-O—

Ospek, atau bisa kusebut ‘hari penyiksaan’, aku semakin tak berniat untuk berbaur dengan anak baru lainnya. Ditambah lagi dengan insiden ‘salah barisan’ kemarin. Aku masih belum bisa lupa. Padahal anak-anak lain sepertinya sudah tak mengingat parodi seminggu lalu itu. Dasar introvert. Terlalu dipikirkan. Tapi bagaimana lagi. Beginilah aku.
“Paham?!” tanya seseorang dari depan sana.
“Paham, Kaaaaak!” semua kompak menjawab, kecuali aku. Aku tak tahu apa perintah yang disampaikan oleh si Mr. X tadi. Oh, iya, itu julukan yang baru saja kubuat untuknya. Aku tak tahu namanya.
Barisan bubar dan aku hanya terpelongo dan ikut-ikutan bubar. Kulihat semua mengambil posisi duduk tak jauh dari barisan tadi dan masing-masing mulai mengeluarkan kotak makan siangnya. Dan aku pun mengerti apa yang akan kami lakukan.
“Lima belas menit, ya!” teriak si Mr. X dan semuanya semakin mempercepat gerakan mereka. Ternyata kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk istirahat dan menyantap makan siang kami. Aku pun bergegas mengeluarkan perkakasku.
Tak mudah untuk makan dengan semua ‘pernak-pernik penyiksa’ ini. Topi kerucut, dasi tali rafia yang dianyam, karton lebar dengan nama kami tertera di atasnya dan celana training yang dimasukkan ke dalam kaos kaki. Benar-benar seperti… entahlah.
Sambil menyantap makan siangku, aku melihat si Mr. X dari sini. Dia sedang duduk dengan senior-senior lainnya. Mungkin saja sedang membahas siksaan apa yang akan kami rasakan selanjutnya. Mungkin. Tapi, kalau anak-anak yang lain tunduk padanya karena takut dihukum, aku berbeda. Aku tunduk saat menatapnya karena aku malu. Eh, bukan malu. Argh! Entahlah.
Dia sedikit berbeda dengan senior laki-laki yang lain. Kulitnya bersih, rambutnya rapih dan pakaiannya pas. Selain itu posturnya sedikit lebih pendek dari teman-temannya tapi masih normal untuk kategori cowok idaman. Eh!
Piiiiiiiiiiiiiiiip!
                Suara yang mengaba-abakan kami untuk segera berbaris. Aku dan semua anak-anak baru bergelut dengan semua perkakas kami dan bergegas menuju barisan. Kali ini aku ingat untuk tidak masuk barisan cowok lagi.
                “Gimana? Sudah kenyang?” tanya si Mr. X yang bisa kuputuskan kalau dia bertugas sebagai koordinator barisan untuk fakultas kami.
                “Sudah, Kaaak!” semua serentak menjawab, kali ini aku termasuk.
                “Udah nggak capek lagi, kan?”
                “Iya, Kaaak!” jawab kami tapi dengan nada yang terdengar lelah.
                “Baiklah! Udah kenyang dan nggak capek, berarti siap, dong, untuk kegiatan selanjutnya…” ujarnya terdengar sedikit menghibur, tapi kami tak bergeming, “Selanjutnya, kakak serahkan ke Kak Tito yang akan memandu kegiatan selanjutnya. Silakan Kak Tito.” Ujarnya seraya memberikan microphone ke salah seorang temannya.
                “Makasih, Kak Doni.” Ujar kak Tito. 'Ooooh. Jadi namanya Kak Doni.' Ujarku dalam hati kegirangan.
“Baiklah. Selamat siang, adik-adik!” sapa kak Tito.
                “Siang, Kak!”
                “Nah, kegiatan kita selanjutnya pasti akan sangat menyenangkan. Kita buat berupa permainan dan permainan ini sifatnya lomba.” Jelasnya.
                “Mati aku!” benakku.
                “Teknisnya begini. Di sekitar pinggir jalan yang ada di dalam lingkungan kampus kita ini sudah di sebar ribuan potong kertas berbentuk segitiga. Nah, potongan-potongan itu punya warna yang berbeda-beda. Tugas kalian adalah kalian harus berlomba untuk mengumpulkan potongan-potongan kertas itu sesuai dengan warna yang ditentutan untuk masing-masing fakultas, dan setiap orangnya harus mengumpulkan minimal lima belas potong. Sekali lagi. Masing-masing lima belas potong sesuai dengan warna fakultasnya. Paham???”
                “Paham, Kaaak!”
                Barisan mulai terdengar riuh. Ada yang  berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya, ada yang mulai menoleh-noleh ke arah pinggir jalan dan sisanya diam saja meskipun aku tak tau apa yang ada dalam benak mereka.
                “Nah, kita akan mulai permainannya. Kalian diberi waktu selama lima menit untuk mencari dan menjelajahi penjuru kampus. Kalian harus kembali lagi ke tempat masing-masing dalam waktu lima menit. Bagi yang terlambat, gak perduli seratus potong pun yang kamu bawa, kamu akan tetap dihukum. Begitu juga kalau yang jumlah potongannya nggak memenuhi target.” Papar Kak Tito.
                “Mampus aku!” benakku.
                “Siaaaaap??? Mulai!!!” ujar Kak Tito memberi aba-aba untuk mulai mencari.
                Dalam sekejap barisan yang tadinya rapih berubah berantakan, bak semut yang lari kocar-kacir saat gulanya diambil. Begitu juga aku. Tak tahu harus mulai dari mana. Semuanya heboh. Sibuk. Takut akan dihukum.
                “Merah! Mana merah.” Kataku dalam hati sambil tolah-toleh sepanjang pinggir jalan. Dan ditengah kekacauan itu seseorang yang berlari menabrakku. Tubuhku terduduk dan kacamataku terlempar entah kemana. Jika tadi aku sibuk mencari potongan kertas berwarna merah, sekarang aku lebih sibuk lagi mencari kacamataku itu. Bagaimana aku bisa mencari potongan-potongan kertas kecil itu kalau aku bahkan tak bisa membedakan mana kertas dan mana daun karena rabun.
                Di tengah kesibukanku mencari kacamataku, seseorang mencolek pundakku. Aku menoleh dan dia menyodorkan sesuatu yang kucari sedari tadi. Kupakai kacamataku dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Mr. X alias Kak Doni berdiri di depanku.
                “Lain kali hati-hati, ya.” Pesannya.
                “I, i, iya, Kak.” Jawabku gugup tak berkedip lalu memalingkan pandanganku.
                “Udah dapat berapa?” tanyanya.
                “Masih enam, Kak.” Jawabku masih belum berani menatapnya.
                “Yaudah, lanjut nyari lagi, gih! Tinggal dua menit lagi.”
                “I, iya, Kak.” Jawabku sambil lalu. Kulihat jam tanganku, tersisa dua menit lagi dan aku baru mengumpulkan enam potong.
                Empat menit berlalu sejak permainan dimulai. Tapi rasanya baru semenit. Empat menit dan aku hanya bisa mengumpulkan empat belas potong. Masa iya hanya gara-gara satu potong aku harus ikut dihukum? Satu menit tersisa. Aku sudah hampir putus asa tapi aku tetap mencari sepanjang langkahku kembali ke barisan. Sebelum tiba dibarisan…
                “Kok lesu? Masih kurang berapa?”
                “Satu.”
                Perlahan tangan kirinya meraih tangan kananku yang telapaknya kukepal karena ada potongan-potongan kertas di dalamnya. Dibukanya dan diletakkannya satu potong kertas segitiga merah. Aku menatap wajahnya. Pandangan kami bertemu. Untuk pertama kalinya aku tetap menatapnya.
                “Nah, sekarang sudah lima belas. Masuk barisan, gih!” ujarnya lembut.
                “Makasih ya, Kak.” Kataku pelan dan dibalasnya dengan anggukan berbonus senyum. “Senyum itu…” benakku sambil melangkah ke barisan.

–O-O—

                Hari perdana masuk kuliah. Kelas pertama usai untuk hari ini. Berselang dua jam untuk mata kuliah kedua dan kuputuskan untuk pergi ke kantin untuk sarapan. Hampir tiba di kantin dan hanphone-ku berdering. Satu pesan masuk dari nomor yang belum terdaftar.

“Febiola Dita, tolong ke perpustakaan jurusan sekarang.
Ada hal penting.”

                Sedikit kaget dengan isi pesan itu. Apa kesalahan yang kuperbuat dengan perpustakaan jurusan? Kubalas pesan itu.

“Maaf, ini siapa?”

Dan tak lama…

“Kak Doni”

Ragu, takut, bimbang dan senang bercampur jadi satu. Namun, akhirnya kuputuskan untuk bergegas ke perpustakaan jurusan yang letaknya tak jauh dari kantin.
                Setiba di pintu perpustakaan aku melihat keadaan di dalam. Tak ada ibu-ibu yang kemarin duduk di sana pas aku buat kartu perpustakaan. Dan perpustakaan juga sepi. Tak ada orang sama sekali. Aku masuk.
                “Oh, udah datang, Feb? Masuk, masuk.” Ujar seseorang dari balik rak buku. Itu suara kak Doni.
                “A, ada apa ya, Kak?” tanyaku gugup. Bukan gugup karena takut bermasalah dengan perpustakaan jurusan, tapi karena ada sosok itu di depanku.
                “Ini, ada surat titipan dari Bu Hanum, kepala perpus jurusan. Katanya penting.” Katanya sambil menyodorkan surat beramplop putih padaku. Kukeluarkan isi amplop itu dan kubaca surat yang berkop ‘Perpustakaan Jususan’ di dalamnya. Bagian awal hingga tengah surat itu tercetak dengan baik, kecuali dibagian akhir.
                “Kak, ini tulisannya apa?”
                “Coba sini.”
Diraihnya surat itu dan dia mulai mengeja.
                “Maa..u.. nggak.. Kaa..mu.. jaaa, di. Paaa… car? Kaaa…kak..” ejanya dengan ekspresi sedikit bingung saat mencoba menebak tulisan yang tak tercetak jelas itu.
Aku mencoba dan menghubungkan kembali rangkaian suku kata itu. Tersadar dan merasa diriku sangat bodoh. Perlahan kutatap wajahnya. Trik yang bisa dikatakan sangat klasik sebenarnya, tapi dia berhasil. Di singkirkannya surat yang ada di tangannya dan diletakkannya kedua tangannya di pundakku. Dan…
                “Iya, Feb. Mau-nggak-kamu-jadi-pacar-kakak? Itu sebenarnya hal penting yang kakak maksud…” ujarnya membuatku hanya terdiam.

–O-O—

                “Selamat ya, Kaak!” ujarku sambil memeluk pria dengan toga dan jubah hitam berkerah merah dan mencium kedua pipinya. Ya, Kak Doni sudah menyelesaikan pendidikan S1-nya. Dan kami berpacaran.
                Aku akan menyelesaikan tahun ketiga ku di perkuliahan tahun ini dan semester depan aku akan praktik di lapangan. Selama perkuliahan Kak Doni lah yang selalu membantuku. Mengerjakan tugas, membuat makalah, mempersiapkan bahan presentasi, menemaniku, mengingatkanku makan, semuanya dilakukan ditengah kesibukannya menyelesaikan tugas-tugas akhirnya.
                “Dek…” ujarnya pelan dan ekspresi yang berubah drastis.
                “Ya, Kak?” jawabku pun dengan ekspresi yang berubah gamang.
                “Kitaaa…”
                “Ada apa, Kak??”
                Dihelanya napas panjang dan berkata, “kita putus aja…”
                “Apa, Kak?” jawabku lesu. Aku bisa merasakan wajahku memucat dan hatiku seperti hancur.
                “Dek… Maaf ya…” ujarnya.
                “Iya, Kak. nggak apa-apa. Aku bisa terima. Tapi, kenapa, Kak? Aku nggak tau alasannya.” Tanyaku dengan air mata sudah siap menghempas tanah.
                “Karena kakak cuma bercanda, Dek. Kakak Cuma bercanda. Kakak nggak punya alasan apapun untuk putus selain karena bercanda. Kakak sayang kamu, Dek. Kakak sayang Febi.” Jawabnya menyeka air mata yang hampir jatuh itu dan memelukku. Aku hanya bisa tertawa haru. Tuhan, aku menyayanginya.

–O-O—

Tugas akhir!!!
Rasanya aku hampir mati kata. Hampir tak bisa lagi menyusun kata-kata ini untuk menjadi skripsi yang baik. Tak terkatakan! Kucoba santaikan sejenak syaraf-syarafku. Kuseduh secangkir teh hijau hangat dan duduk di beranda rumah. Sore yang indah. Semua terasa indah sampai handphone-ku berdering.
“Selamat sore, benar ini Mbak Febi.”
“Ya, benar. Saya sendiri. Maaf, ini siapa ya? Kok pakai nomor Kak Doni?”
“Maaf, saya Rudi, Mbak. Saya yang nolongin Mas Doni…”
“Nolongin?? Maksudnya?
“Iya, Mbak. Mas Doni baru saja mengalami kecelakaan. Pelakunya melarikan diri…”
Air mataku tak menunggu untuk segera menghempas meja. Aku belum bisa percaya dengan apa yang kudengar. “Jadi sekarang Kak Doni dimana ya, Mas?” tanyaku lirih.
“Sekarang Mas Doni sudah di rumah sakit Bina Bangsa, Mbak. Tadi sudah ditangani sama dokter dan disuruh nunggu.” Jelasnya.
“Baiklah, Mas. Saya sekarang ke sana. Terimakasih banyak ya, Mas.” Kututup panggilan itu dan bergegas ke rumah sakit yang tak terlalu jauh dari rumahku.

–O-O—

“Bagaimana keadaannya, Dokter?” tanyaku saat dokter yang menangani Kak Doni keluar dari ruang UGD. Aku terus menangis. Mas Rudi yang selalu berusaha menahan dan menenangkanku.
“Tenang, Mbak, tenang. Puji Tuhan, saudara Doni sudah melewati masa kritis. Mas Doni saat ini masih dalam keadaan shock dan sebisa mungkin kita biarkan dia istirahat dulu. Luka di badannya juga tak terlalu parah. Benturan di kepala saudara Doni juga untuknya tidak terlalu keras dan tidak merusak jaringan otaknya. Tapi…” kalimat dokter itu terhenti sejenak.
“Tapi apa, Dok?” tanyaku dengan air mata yang kembali berurai.
“Saat kecelakaan tadi ternyata beberapa serpihan kaca masuk ke mata saudara Doni dan kemungkinan besar akan merusak penglihatan saudara Doni.” Paparnya. Aku terenyuh dan tak bisa berkata lagi, “tapi kami akan berusaha sebisa mungkin. Kami harap Mbak bisa bersabar. Saya permisi dulu, Mbak, Mas.” Ujar dokter itu pamit.

–O-O—

Sudah seminggu Kak Doni di rawat di rumah sakit, keadaanya sudah membaik. Aku bersyukur hal yang sangat buruk yang sempat kubayangkan tidak terjadi. Tapi ketakutan dokter soal mata kak Doni ternyata benar. Karena serpihan kaca yang masuk ke mata Kak Doni, matanya kehilangan fungsi. Keduanya. Ya, dia buta. Dia tak bisa melihat lagi.
“Dek…” panggilnya seraya mengangkat tangannya.
“Iya, Kak? Aku disini, Kak…” jawabku, menggapai tangannya dan mengusapkannya ke pipi kananku.
“Jangan menangis lagi ya, Dek. Kakak baik-baik aja, kok. Udah sehat. Udah bisa pulang. Kita pulang aja, yok.” Katanya. Aku tahu dia hanya berusaha membuatku tenang.
“Nggak, Kak. Jangan dulu. Tunggu kakak sembuh total baru kita pulang. Ya?” bujukku.
Dia terdiam sejenak dan berkata, “Maaf ya, Dek. Kakak udah bikin kamu repot. Udah bikin kamu susah… Kalau kakak buta nanti…”
“Ssh… ssh… “ desisku sembari meletakkan jari telunjukku di depan bibirnya, “kakak nggak bikin aku repot sama sekali. Kakak nggak bikin aku susah sama sekali. Aku sayang sama kakak. Cuma ini yang bisa aku kasih ke kakak.” Ucapku kian lirih. Setelah aku berkata demikian, dia tersenyum. Senyum itu. Tuhan, aku benar-benar menyayanginya. Jaga dia, Tuhan. Sembuhkanlah dia.

–O-O—

Aku menghubungi orang tua Kak Doni tiga hari yang lalu dan mereka berencana datang minggu depan. Aku menceritakan semua yang terjadi selama Kak Doni dirawat di rumah sakit. Sangat perlahan. Berusaha agar mereka tidak terkejut.
Kemarin aku mendapat telepon dari ibu Kak Doni. Beliau berpesan untuk mencari tahu informasi operasi mata di rumah sakit ini. Hari ini aku menghubungi beliau dan menyampaikan tentang hal-hal yang diperlukan untuk melakukan operasi mata dan total biayanya. Beliau memintaku untuk segera mengurus operasi mata untuk Kak Doni. Aku bersyukur kedua orang tua Kak Doni bisa menerima kabar tentang kondisi Kak Doni dengan tabah.

–O-O—

Satu pesan masuk dari Kak Doni:

“Kakak rindu memandangmu, Dek…”

–O-O—

“Mas Doni…” ujar Pak Johan yang menangani operasi mata Kak Doni berusaha membangunkannya.
“Mm? Ya, Dok?” jawabnya.
“Bisa coba duduk, Mas? Kita akan buka perbannya sekarang.” Ajak Pak Johan.
“Oh, bisa, Dok.” Jawab Kak Doni berusaha mendudukkan badannya perlahan.
“Matanya tetap dipejam ya, Mas. Kita mulai,” kata Pak Johan dan mulai membuka perban yang membalut kedua mata Kak Doni, “nah, sekarang coba buka matanya. Pelan-pelan aja ya, Mas.”
Kak Doni berusaha membuka kedua matanya. Sangat perlahan. Terkadang dia meringis. Mungkin masih sedikit perih. Beberapa kali Kak Doni mencoba membuka matanya, tapi kembali ditutupnya karena perih. Tapi keinginannya kuat. Dia tetap mencoba. Pak Johan juga begitu sabar.
Hampir lima menit dokter dan Kak Doni berusaha bersama dan akhirnya Kak Doni bisa membuka matanya. Aku penasaran dengan apa yang bisa dilihat oleh mata Kak Doni.
“Apa yang kamu lihat?” tanya dokter.
“Eumm… Kabur, Dok.” Jawab Kak Doni.
“Nggap apa-apa. Masih butuh penyesuaian. Coba kedip-kedipkan matanya supaya terbiasa.”
“Baik, Dok,” Kata Kak Doni dan mencoba mengedipkan matanya perlahan, “makin jelas, Dok…” jawabnya girang. Aku semakin mendekat.
“Bagus.”
“Udah, Dok. Tapi masih aja kabur.”
“Coba. Ini berapa?” tanya dokter seraya mengacungkan empat jarinya.
“Empat, Dok.”
“Bagus!” ujar dokter itu ikut girang. Aku pun ikut girang. Dokter mencoba dengan jumlah lain dan semua berhasil ditebak. “Nah, sudah selesai…”
“Tapi masih kabur, Dok.” Cemas Kak Doni. Dokter mengatakan kalau Kak Doni masih butuh penyesuaian dengan mata itu atau kalau sampai nanti Kak Doni belum juga bisa melihat dengan jelas, berarti dia harus memakai kacamata. Eh? Kacamata?
Aku mendekat ke arah Kak Doni, melepas kacamataku dan memakaikannya ke Kak Doni.
“Bagaimana, Kak?” tanyaku.
“Dek…” katanya dan merangkulku.
Aku meneteskan air mataku.
“Kakak rindu memandangmu, Dek.” Ucapnya lirih. Pelukannya membuktikan kalau dia memang benar-benar rindu menatapku.
Aku tersenyum dan berkata, “Kakak ingat waktu aku ospek dulu? Semua kelihatan kabur saat kacamata ini terlepas, sama seperti yang kakak lihat tadi. Tapi kakak lah yang datang dan menemukan kacamata ini lagi, supaya aku bisa melihat dunia lagi, dan bisa melihat Kak Doni yang aku kagumi.”

–O-O—

“Kak…”
“Ya, Dek?”
“Aku pengen ketemu sama seseorang, Kak.”
“Hah? Siapa, Dek? Cowok lain, ya?”
“Ya, nggak tau kak.”
“Kok nggak tau? Emang siapa?”
“Orang yang nabrak aku pas nyari potongan kertas dulu kak.”
“Loh, kenapa nyari dia?”
“Aku mau ngucapin makasih ke dia, Kak. Karena dia, kakak mau deketin aku.”
“Weleeh. Gombaaal…”
“Aku sayang kamu, Kak.”
“Kakak juga sayang kamu, Dek.”

Tuhan, biarkan kami tetap bersama.

SELESAI

2 comments:

Mohon tetap santun ya... Terimakasih.
(Please, be polite... Thanks.)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...