Kacamata dan Sepotong Kertas Segitiga Merah
Oleh: Boy Atlaliust
Simangunsong
Ospek.
Memang jadi momok yang mengerikan buatku setiap memasuki jenjang baru. SMP, SMA
sama saja. Bahkan sampai masuk perguruan tinggi pun aku masih belum bisa
mengakrabkan diri dengannya. Apalagi di kampus jingga ini. Judulnya, sih, PKK.
Pengenalan Kehidupan Kampus. Tapi, hei, aku udah nggak anak-anak lagi. Udah
paham dengan kata ‘pengenalan’ disitu itu maksudnya apa. Penindasan anak-anak
baru. Menyebalkan.
Emang, sih,
tujuan ospek—yang pada dasarnya baik—untuk mengenalkan lingkungan kampus buat
kami anak-anak baru, mengenalkan dan mengakrabkan kami dengan senior dan
membuat kami bisa berkenalan dengan sesama mahasiswa baru. Tapi lain buat gadis
dengan kepribadian introvert sepertiku. Aku bukan sengak. Aku hanya tak suka
keramaian. Aku tak mudah untuk berbaur dengan orang baru, apalagi untuk akrab.
Pra
PKK—alias persiapan Ospek—kami diharuskan berkumpul di depan balairung kampus
untuk membahas persiapan-persiapan yang harus dibawa pada hari penyiksaan kami
nanti. Dari balik kacamataku aku sudah bisa melihat gerombolan manusia di
kejauhan, bak semut mengerumuni gula. Kudekati kerumunan itu. Beberapa asyik
mengobrol, bercanda dan gadis-gadis nyentrik di sebelah sana bisa kupastikan sedang
membahas tren fashion terbaru. Aku
mencari posisi nyamanku. Ya, di sudut taman. Jauh dari keramaian.
Setengah
jam sudah. Tepat pukul delapan. Waktu yang ditentukan oleh para ‘tetua’ untuk
berkumpul dan mereka mulai mengumpulkan kami. Berbaris menurut fakultas
masing-masing. Dengan langkah lungkai aku beranjak dari tempatku.
“Hukum…
hukum…! Yang fakultas hukum baris di sini!” suara sayup terdengar di tengah
hiruk pikuk anak-anak baru yang lalu lalang mencari barisannya. Saat mendekati
barisan, langkahku yang tadinya ogah-ogahan sedikit tertahan. Dengan wajah
datar dan almamater jingganya dia berdiri gagah di depan barisan kami. Aku
menunduk saat pandangan kami hampir bertemu. Ya, tak sempat bertemu. Aku
terlalu kaku.
“Hei!
Kamu!” ujar seseorang dari depan barisan, “cewek yang pake kacamata…” lanjut
suara itu menegur seseorang dan sontak membuatku menoleh kearah datangnya suara
itu. “Kamu!” katanya dan aku menunjuk hidungku tanpa berucap sedikitpun, “iya,
kamu!” tegasnya.
“A, ada apa
ya, Kak?” tanyaku gugup, tak tahu kesalahan apa yang sudah kuperbuat.
“Kok ada
apa?” tanyanya balik, masih dengan muka datar. Aku semakin bingung.
“Eummm…”
gumamku.
“Kamu masih
tetap mau di barisan cowok?” tanyanya santai. Sekejap menyadarkanku dari
linglungku. Ternyata dari tadi aku berada di barisan laki-laki. Kulihat
sekelilingku dan sekelilingku melihatku. Rasanya seperti jatuh tersandung batu.
Bukan sakitnya, malunya itu. Perlahan aku mulai berpindah ke barisan perempuan.
Tawa cekikikan mengiringi langkahku.
“Bodooooooh!”
teriakku dalam hati. Kuangkat wajahku, pandangan kami bertemu. Dia tersenyum
simpul.
–O-O—
Ospek, atau
bisa kusebut ‘hari penyiksaan’, aku semakin tak berniat untuk berbaur dengan
anak baru lainnya. Ditambah lagi dengan insiden ‘salah barisan’ kemarin. Aku
masih belum bisa lupa. Padahal anak-anak lain sepertinya sudah tak mengingat
parodi seminggu lalu itu. Dasar introvert. Terlalu dipikirkan. Tapi bagaimana
lagi. Beginilah aku.
“Paham?!”
tanya seseorang dari depan sana.
“Paham,
Kaaaaak!” semua kompak menjawab, kecuali aku. Aku tak tahu apa perintah yang
disampaikan oleh si Mr. X tadi. Oh, iya, itu julukan yang baru saja kubuat
untuknya. Aku tak tahu namanya.
Barisan
bubar dan aku hanya terpelongo dan ikut-ikutan bubar. Kulihat semua mengambil
posisi duduk tak jauh dari barisan tadi dan masing-masing mulai mengeluarkan
kotak makan siangnya. Dan aku pun mengerti apa yang akan kami lakukan.
“Lima belas
menit, ya!” teriak si Mr. X dan semuanya semakin mempercepat gerakan mereka.
Ternyata kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk istirahat dan menyantap
makan siang kami. Aku pun bergegas mengeluarkan perkakasku.
Tak mudah
untuk makan dengan semua ‘pernak-pernik penyiksa’ ini. Topi kerucut, dasi tali
rafia yang dianyam, karton lebar dengan nama kami tertera di atasnya dan celana
training yang dimasukkan ke dalam
kaos kaki. Benar-benar seperti… entahlah.
Sambil
menyantap makan siangku, aku melihat si Mr. X dari sini. Dia sedang duduk
dengan senior-senior lainnya. Mungkin saja sedang membahas siksaan apa yang akan
kami rasakan selanjutnya. Mungkin. Tapi, kalau anak-anak yang lain tunduk
padanya karena takut dihukum, aku berbeda. Aku tunduk saat menatapnya karena
aku malu. Eh, bukan malu. Argh! Entahlah.
Dia sedikit
berbeda dengan senior laki-laki yang lain. Kulitnya bersih, rambutnya rapih dan
pakaiannya pas. Selain itu posturnya sedikit lebih pendek dari teman-temannya
tapi masih normal untuk kategori cowok idaman. Eh!
Piiiiiiiiiiiiiiiip!
Suara yang mengaba-abakan kami untuk segera berbaris.
Aku dan semua anak-anak baru bergelut dengan semua perkakas kami dan bergegas
menuju barisan. Kali ini aku ingat untuk tidak masuk barisan cowok lagi.
“Gimana? Sudah kenyang?” tanya si Mr. X yang bisa
kuputuskan kalau dia bertugas sebagai koordinator barisan untuk fakultas kami.
“Sudah, Kaaak!” semua serentak menjawab, kali ini aku
termasuk.
“Udah nggak capek lagi, kan?”
“Iya, Kaaak!” jawab kami tapi dengan nada yang
terdengar lelah.
“Baiklah! Udah kenyang dan nggak capek, berarti siap,
dong, untuk kegiatan selanjutnya…”
ujarnya terdengar sedikit menghibur, tapi kami tak bergeming, “Selanjutnya,
kakak serahkan ke Kak Tito yang akan memandu kegiatan selanjutnya. Silakan Kak
Tito.” Ujarnya seraya memberikan microphone
ke salah seorang temannya.
“Makasih, Kak Doni.” Ujar kak Tito. 'Ooooh.
Jadi namanya Kak Doni.' Ujarku dalam hati kegirangan.
“Baiklah.
Selamat siang, adik-adik!” sapa kak Tito.
“Siang, Kak!”
“Nah, kegiatan kita selanjutnya pasti akan sangat
menyenangkan. Kita buat berupa permainan dan permainan ini sifatnya lomba.”
Jelasnya.
“Mati aku!” benakku.
“Teknisnya begini. Di sekitar pinggir jalan yang ada
di dalam lingkungan kampus kita ini sudah di sebar ribuan potong kertas
berbentuk segitiga. Nah, potongan-potongan itu punya warna yang berbeda-beda.
Tugas kalian adalah kalian harus berlomba untuk mengumpulkan potongan-potongan
kertas itu sesuai dengan warna yang ditentutan untuk masing-masing fakultas,
dan setiap orangnya harus mengumpulkan minimal lima belas potong. Sekali lagi.
Masing-masing lima belas potong sesuai dengan warna fakultasnya. Paham???”
“Paham, Kaaak!”
Barisan mulai terdengar riuh. Ada yang berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya,
ada yang mulai menoleh-noleh ke arah pinggir jalan dan sisanya diam saja
meskipun aku tak tau apa yang ada dalam benak mereka.
“Nah, kita akan mulai permainannya. Kalian diberi
waktu selama lima menit untuk mencari dan menjelajahi penjuru kampus. Kalian
harus kembali lagi ke tempat masing-masing dalam waktu lima menit. Bagi yang
terlambat, gak perduli seratus potong pun yang kamu bawa, kamu akan tetap
dihukum. Begitu juga kalau yang jumlah potongannya nggak memenuhi target.”
Papar Kak Tito.
“Mampus aku!” benakku.
“Siaaaaap??? Mulai!!!” ujar Kak Tito memberi aba-aba
untuk mulai mencari.
Dalam sekejap barisan yang tadinya rapih berubah
berantakan, bak semut yang lari kocar-kacir saat gulanya diambil. Begitu juga
aku. Tak tahu harus mulai dari mana. Semuanya heboh. Sibuk. Takut akan dihukum.
“Merah! Mana merah.” Kataku dalam hati sambil
tolah-toleh sepanjang pinggir jalan. Dan ditengah kekacauan itu seseorang yang
berlari menabrakku. Tubuhku terduduk dan kacamataku terlempar entah kemana.
Jika tadi aku sibuk mencari potongan kertas berwarna merah, sekarang aku lebih
sibuk lagi mencari kacamataku itu. Bagaimana aku bisa mencari potongan-potongan
kertas kecil itu kalau aku bahkan tak bisa membedakan mana kertas dan mana daun
karena rabun.
Di tengah kesibukanku mencari kacamataku, seseorang
mencolek pundakku. Aku menoleh dan dia menyodorkan sesuatu yang kucari sedari
tadi. Kupakai kacamataku dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Mr. X
alias Kak Doni berdiri di depanku.
“Lain kali hati-hati, ya.” Pesannya.
“I, i, iya, Kak.” Jawabku gugup tak berkedip lalu
memalingkan pandanganku.
“Udah dapat berapa?” tanyanya.
“Masih enam, Kak.” Jawabku masih belum berani
menatapnya.
“Yaudah, lanjut nyari lagi, gih! Tinggal dua menit
lagi.”
“I, iya, Kak.” Jawabku sambil lalu. Kulihat jam
tanganku, tersisa dua menit lagi dan aku baru mengumpulkan enam potong.
Empat menit berlalu sejak permainan dimulai. Tapi rasanya baru semenit. Empat menit dan aku hanya bisa mengumpulkan empat belas
potong. Masa iya hanya gara-gara satu potong aku harus ikut dihukum? Satu menit tersisa. Aku sudah hampir putus asa tapi aku tetap mencari
sepanjang langkahku kembali ke barisan. Sebelum tiba dibarisan…
“Kok lesu? Masih kurang berapa?”
“Satu.”
Perlahan tangan kirinya meraih tangan kananku yang
telapaknya kukepal karena ada potongan-potongan kertas di dalamnya. Dibukanya
dan diletakkannya satu potong kertas segitiga merah. Aku menatap wajahnya.
Pandangan kami bertemu. Untuk pertama kalinya aku tetap menatapnya.
“Nah, sekarang sudah lima belas. Masuk barisan, gih!”
ujarnya lembut.
“Makasih ya, Kak.” Kataku pelan dan dibalasnya dengan
anggukan berbonus senyum. “Senyum itu…” benakku sambil melangkah ke barisan.
–O-O—
Hari perdana masuk kuliah. Kelas pertama usai untuk
hari ini. Berselang dua jam untuk mata kuliah kedua dan kuputuskan untuk pergi
ke kantin untuk sarapan. Hampir tiba di kantin dan hanphone-ku berdering. Satu pesan masuk dari nomor yang belum
terdaftar.
“Febiola Dita, tolong ke perpustakaan
jurusan sekarang.
Ada hal penting.”
Sedikit kaget dengan isi pesan itu. Apa kesalahan
yang kuperbuat dengan perpustakaan jurusan? Kubalas pesan itu.
“Maaf, ini siapa?”
Dan tak
lama…
“Kak Doni”
Ragu,
takut, bimbang dan senang bercampur jadi satu. Namun, akhirnya kuputuskan untuk
bergegas ke perpustakaan jurusan yang letaknya tak jauh dari kantin.
Setiba di pintu perpustakaan aku melihat keadaan di
dalam. Tak ada ibu-ibu yang kemarin duduk di sana pas aku buat kartu
perpustakaan. Dan perpustakaan juga sepi. Tak ada orang sama sekali. Aku masuk.
“Oh, udah datang, Feb? Masuk, masuk.” Ujar seseorang
dari balik rak buku. Itu suara kak Doni.
“A, ada apa ya, Kak?” tanyaku gugup. Bukan gugup
karena takut bermasalah dengan perpustakaan jurusan, tapi karena ada sosok itu
di depanku.
“Ini, ada surat titipan dari Bu Hanum, kepala perpus
jurusan. Katanya penting.” Katanya sambil menyodorkan surat beramplop putih padaku.
Kukeluarkan isi amplop itu dan kubaca surat yang berkop ‘Perpustakaan Jususan’
di dalamnya. Bagian awal hingga tengah surat itu tercetak dengan baik, kecuali
dibagian akhir.
“Kak, ini tulisannya apa?”
“Coba sini.”
Diraihnya
surat itu dan dia mulai mengeja.
“Maa..u.. nggak.. Kaa..mu.. jaaa, di. Paaa… car?
Kaaa…kak..” ejanya dengan ekspresi sedikit bingung saat mencoba menebak tulisan
yang tak tercetak jelas itu.
Aku mencoba
dan menghubungkan kembali rangkaian suku kata itu. Tersadar dan merasa diriku
sangat bodoh. Perlahan kutatap wajahnya. Trik yang bisa dikatakan sangat klasik sebenarnya, tapi dia berhasil. Di singkirkannya surat yang ada di
tangannya dan diletakkannya kedua tangannya di pundakku. Dan…
“Iya, Feb. Mau-nggak-kamu-jadi-pacar-kakak? Itu
sebenarnya hal penting yang kakak maksud…” ujarnya membuatku hanya terdiam.
–O-O—
“Selamat ya, Kaak!” ujarku sambil memeluk pria dengan
toga dan jubah hitam berkerah merah dan mencium kedua pipinya. Ya, Kak Doni
sudah menyelesaikan pendidikan S1-nya. Dan kami berpacaran.
Aku akan menyelesaikan tahun ketiga ku di perkuliahan
tahun ini dan semester depan aku akan praktik di lapangan. Selama perkuliahan
Kak Doni lah yang selalu membantuku. Mengerjakan tugas, membuat makalah,
mempersiapkan bahan presentasi, menemaniku, mengingatkanku makan, semuanya
dilakukan ditengah kesibukannya menyelesaikan tugas-tugas akhirnya.
“Dek…” ujarnya pelan dan ekspresi yang berubah
drastis.
“Ya, Kak?” jawabku pun dengan ekspresi yang berubah gamang.
“Kitaaa…”
“Ada apa, Kak??”
Dihelanya napas panjang dan berkata, “kita putus
aja…”
“Apa, Kak?” jawabku lesu. Aku bisa merasakan wajahku
memucat dan hatiku seperti hancur.
“Dek… Maaf ya…” ujarnya.
“Iya, Kak. nggak apa-apa. Aku bisa terima. Tapi,
kenapa, Kak? Aku nggak tau alasannya.” Tanyaku dengan air mata sudah siap
menghempas tanah.
“Karena kakak cuma bercanda, Dek. Kakak Cuma
bercanda. Kakak nggak punya alasan apapun untuk putus selain karena bercanda.
Kakak sayang kamu, Dek. Kakak sayang Febi.” Jawabnya menyeka air mata yang
hampir jatuh itu dan memelukku. Aku hanya bisa tertawa haru. Tuhan, aku
menyayanginya.
–O-O—
Tugas
akhir!!!
Rasanya aku
hampir mati kata. Hampir tak bisa lagi menyusun kata-kata ini untuk menjadi
skripsi yang baik. Tak terkatakan! Kucoba santaikan sejenak syaraf-syarafku.
Kuseduh secangkir teh hijau hangat dan duduk di beranda rumah. Sore yang indah.
Semua terasa indah sampai handphone-ku
berdering.
“Selamat
sore, benar ini Mbak Febi.”
“Ya, benar.
Saya sendiri. Maaf, ini siapa ya? Kok pakai nomor Kak Doni?”
“Maaf, saya
Rudi, Mbak. Saya yang nolongin Mas Doni…”
“Nolongin??
Maksudnya?
“Iya, Mbak.
Mas Doni baru saja mengalami kecelakaan. Pelakunya melarikan diri…”
Air mataku
tak menunggu untuk segera menghempas meja. Aku belum bisa percaya dengan apa
yang kudengar. “Jadi sekarang Kak Doni dimana ya, Mas?” tanyaku lirih.
“Sekarang
Mas Doni sudah di rumah sakit Bina Bangsa, Mbak. Tadi sudah ditangani sama
dokter dan disuruh nunggu.” Jelasnya.
“Baiklah,
Mas. Saya sekarang ke sana. Terimakasih banyak ya, Mas.” Kututup panggilan itu
dan bergegas ke rumah sakit yang tak terlalu jauh dari rumahku.
–O-O—
“Bagaimana
keadaannya, Dokter?” tanyaku saat dokter yang menangani Kak Doni keluar dari
ruang UGD. Aku terus menangis. Mas Rudi yang selalu berusaha menahan dan
menenangkanku.
“Tenang,
Mbak, tenang. Puji Tuhan, saudara Doni sudah melewati masa kritis. Mas Doni
saat ini masih dalam keadaan shock
dan sebisa mungkin kita biarkan dia istirahat dulu. Luka di badannya
juga tak terlalu parah. Benturan di kepala saudara Doni juga untuknya tidak
terlalu keras dan tidak merusak jaringan otaknya. Tapi…” kalimat dokter itu
terhenti sejenak.
“Tapi apa,
Dok?” tanyaku dengan air mata yang kembali berurai.
“Saat
kecelakaan tadi ternyata beberapa serpihan kaca masuk ke mata saudara Doni dan
kemungkinan besar akan merusak penglihatan saudara Doni.” Paparnya. Aku
terenyuh dan tak bisa berkata lagi, “tapi kami akan berusaha sebisa mungkin.
Kami harap Mbak bisa bersabar. Saya permisi dulu, Mbak, Mas.” Ujar dokter itu
pamit.
–O-O—
Sudah
seminggu Kak Doni di rawat di rumah sakit, keadaanya sudah membaik. Aku
bersyukur hal yang sangat buruk yang sempat kubayangkan tidak terjadi. Tapi
ketakutan dokter soal mata kak Doni ternyata benar. Karena serpihan kaca yang
masuk ke mata Kak Doni, matanya kehilangan fungsi. Keduanya. Ya, dia buta. Dia
tak bisa melihat lagi.
“Dek…”
panggilnya seraya mengangkat tangannya.
“Iya, Kak?
Aku disini, Kak…” jawabku, menggapai tangannya dan mengusapkannya ke pipi
kananku.
“Jangan
menangis lagi ya, Dek. Kakak baik-baik aja, kok. Udah sehat. Udah bisa pulang.
Kita pulang aja, yok.” Katanya. Aku tahu dia hanya berusaha membuatku tenang.
“Nggak,
Kak. Jangan dulu. Tunggu kakak sembuh total baru kita pulang. Ya?” bujukku.
Dia terdiam
sejenak dan berkata, “Maaf ya, Dek. Kakak udah bikin kamu repot. Udah bikin
kamu susah… Kalau kakak buta nanti…”
“Ssh… ssh…
“ desisku sembari meletakkan jari telunjukku di depan bibirnya, “kakak
nggak bikin aku repot sama sekali. Kakak nggak bikin aku susah sama sekali. Aku
sayang sama kakak. Cuma ini yang bisa aku kasih ke kakak.” Ucapku kian lirih.
Setelah aku berkata demikian, dia tersenyum. Senyum itu. Tuhan, aku benar-benar
menyayanginya. Jaga dia, Tuhan. Sembuhkanlah dia.
–O-O—
Aku
menghubungi orang tua Kak Doni tiga hari yang lalu dan mereka berencana datang
minggu depan. Aku menceritakan semua yang terjadi selama Kak Doni dirawat di
rumah sakit. Sangat perlahan. Berusaha agar mereka tidak terkejut.
Kemarin aku
mendapat telepon dari ibu Kak Doni. Beliau berpesan untuk mencari tahu
informasi operasi mata di rumah sakit ini. Hari ini aku menghubungi beliau dan
menyampaikan tentang hal-hal yang diperlukan untuk melakukan operasi mata
dan total biayanya. Beliau memintaku untuk segera mengurus operasi mata untuk
Kak Doni. Aku bersyukur kedua orang tua Kak Doni bisa menerima kabar tentang
kondisi Kak Doni dengan tabah.
–O-O—
Satu pesan
masuk dari Kak Doni:
“Kakak rindu memandangmu, Dek…”
–O-O—
“Mas Doni…”
ujar Pak Johan yang menangani operasi mata Kak Doni berusaha membangunkannya.
“Mm? Ya,
Dok?” jawabnya.
“Bisa coba
duduk, Mas? Kita akan buka perbannya sekarang.” Ajak Pak Johan.
“Oh, bisa,
Dok.” Jawab Kak Doni berusaha mendudukkan badannya perlahan.
“Matanya
tetap dipejam ya, Mas. Kita mulai,” kata Pak Johan dan mulai membuka perban
yang membalut kedua mata Kak Doni, “nah, sekarang coba buka matanya.
Pelan-pelan aja ya, Mas.”
Kak Doni
berusaha membuka kedua matanya. Sangat perlahan. Terkadang dia meringis.
Mungkin masih sedikit perih. Beberapa kali Kak Doni mencoba membuka matanya,
tapi kembali ditutupnya karena perih. Tapi keinginannya kuat. Dia tetap
mencoba. Pak Johan juga begitu sabar.
Hampir lima
menit dokter dan Kak Doni berusaha bersama dan akhirnya Kak Doni bisa membuka
matanya. Aku penasaran dengan apa yang bisa dilihat oleh mata Kak Doni.
“Apa yang
kamu lihat?” tanya dokter.
“Eumm…
Kabur, Dok.” Jawab Kak Doni.
“Nggap
apa-apa. Masih butuh penyesuaian. Coba kedip-kedipkan matanya supaya terbiasa.”
“Baik,
Dok,” Kata Kak Doni dan mencoba mengedipkan matanya perlahan, “makin jelas,
Dok…” jawabnya girang. Aku semakin mendekat.
“Bagus.”
“Udah, Dok.
Tapi masih aja kabur.”
“Coba. Ini
berapa?” tanya dokter seraya mengacungkan empat jarinya.
“Empat,
Dok.”
“Bagus!”
ujar dokter itu ikut girang. Aku pun ikut girang. Dokter mencoba dengan jumlah
lain dan semua berhasil ditebak. “Nah, sudah selesai…”
“Tapi masih
kabur, Dok.” Cemas Kak Doni. Dokter mengatakan kalau Kak Doni masih butuh
penyesuaian dengan mata itu atau kalau sampai nanti Kak Doni belum juga bisa
melihat dengan jelas, berarti dia harus memakai kacamata. Eh? Kacamata?
Aku
mendekat ke arah Kak Doni, melepas kacamataku dan memakaikannya ke Kak Doni.
“Bagaimana,
Kak?” tanyaku.
“Dek…”
katanya dan merangkulku.
Aku
meneteskan air mataku.
“Kakak
rindu memandangmu, Dek.” Ucapnya lirih. Pelukannya membuktikan kalau dia memang benar-benar rindu menatapku.
Aku
tersenyum dan berkata, “Kakak ingat waktu aku ospek dulu? Semua kelihatan kabur
saat kacamata ini terlepas, sama seperti yang kakak lihat tadi. Tapi kakak lah
yang datang dan menemukan kacamata ini lagi, supaya aku bisa melihat dunia
lagi, dan bisa melihat Kak Doni yang aku kagumi.”
–O-O—
“Kak…”
“Ya, Dek?”
“Aku pengen ketemu
sama seseorang, Kak.”
“Hah? Siapa, Dek?
Cowok lain, ya?”
“Ya, nggak tau
kak.”
“Kok nggak tau?
Emang siapa?”
“Orang yang nabrak
aku pas nyari potongan kertas dulu kak.”
“Loh, kenapa nyari
dia?”
“Aku mau ngucapin
makasih ke dia, Kak. Karena dia, kakak mau deketin aku.”
“Weleeh.
Gombaaal…”
“Aku sayang kamu,
Kak.”
“Kakak juga sayang
kamu, Dek.”
Tuhan, biarkan kami tetap bersama.
SELESAI
so sweeeeeeeeeeeeett......
ReplyDeletepesan kak doni satu diantar ke rumah yaaaa???
hahaha...
Deletebungkus!! :)