Kacamata dan Sepotong Kertas Segitiga Merah
Oleh: Boy Atlaliust
Simangunsong
Ospek.
Memang jadi momok yang mengerikan buatku setiap memasuki jenjang baru. SMP, SMA
sama saja. Bahkan sampai masuk perguruan tinggi pun aku masih belum bisa
mengakrabkan diri dengannya. Apalagi di kampus jingga ini. Judulnya, sih, PKK.
Pengenalan Kehidupan Kampus. Tapi, hei, aku udah nggak anak-anak lagi. Udah
paham dengan kata ‘pengenalan’ disitu itu maksudnya apa. Penindasan anak-anak
baru. Menyebalkan.
Emang, sih,
tujuan ospek—yang pada dasarnya baik—untuk mengenalkan lingkungan kampus buat
kami anak-anak baru, mengenalkan dan mengakrabkan kami dengan senior dan
membuat kami bisa berkenalan dengan sesama mahasiswa baru. Tapi lain buat gadis
dengan kepribadian introvert sepertiku. Aku bukan sengak. Aku hanya tak suka
keramaian. Aku tak mudah untuk berbaur dengan orang baru, apalagi untuk akrab.
Pra
PKK—alias persiapan Ospek—kami diharuskan berkumpul di depan balairung kampus
untuk membahas persiapan-persiapan yang harus dibawa pada hari penyiksaan kami
nanti. Dari balik kacamataku aku sudah bisa melihat gerombolan manusia di
kejauhan, bak semut mengerumuni gula. Kudekati kerumunan itu. Beberapa asyik
mengobrol, bercanda dan gadis-gadis nyentrik di sebelah sana bisa kupastikan sedang
membahas tren fashion terbaru. Aku
mencari posisi nyamanku. Ya, di sudut taman. Jauh dari keramaian.
Setengah
jam sudah. Tepat pukul delapan. Waktu yang ditentukan oleh para ‘tetua’ untuk
berkumpul dan mereka mulai mengumpulkan kami. Berbaris menurut fakultas
masing-masing. Dengan langkah lungkai aku beranjak dari tempatku.
“Hukum…
hukum…! Yang fakultas hukum baris di sini!” suara sayup terdengar di tengah
hiruk pikuk anak-anak baru yang lalu lalang mencari barisannya. Saat mendekati
barisan, langkahku yang tadinya ogah-ogahan sedikit tertahan. Dengan wajah
datar dan almamater jingganya dia berdiri gagah di depan barisan kami. Aku
menunduk saat pandangan kami hampir bertemu. Ya, tak sempat bertemu. Aku
terlalu kaku.
“Hei!
Kamu!” ujar seseorang dari depan barisan, “cewek yang pake kacamata…” lanjut
suara itu menegur seseorang dan sontak membuatku menoleh kearah datangnya suara
itu. “Kamu!” katanya dan aku menunjuk hidungku tanpa berucap sedikitpun, “iya,
kamu!” tegasnya.