Friday, October 12, 2012

Ungu

SEBUAH CERPEN oleh DWITA SUNDARI.

Ungu

       Nama gue Ungu. Entah kenapa, bokap dan nyokap gue memberi nama terhadap warna itu. Sejak kecil, gue sering diledekin ama teman sekelas gue kalau ibuku itu ga kreatif. Mereka menganggap nama gue itu aneh. Ga ada sejarah menceritakan kenapa gue diberi nama tersebut. Ketika gue menanyakannya pada nyokap, malah jawabannya kebanyakan senyum. Cuma bilang,”itu warna yang indah, sayang”.
.... 

       Namun, seiring dengan bertambahnya umur, gue mulai merasakan hal yang aneh dalam diri gue. Gue sering melamun, menghayal, dan terkesan seperti makhluk asing. Ga suka dengan hal yang ribut, dan yang lebih parah, gue benci banget ama yang namanya musik. Mengingat gue anak satu satunya dirumah ini, kesepian gue pun merajalela. Tapi, entah kenapa juga, gue menikmatinya. Sekarang gue duduk dibangku SMA. Keadaan hidup gue pun berubah seketika. Memiliki teman baru tak menghilangkan sifat buruk gue. Benci dengan musik. Sampai pada suatu pagi di hari senin gue harus mengikuti kelas musik di sekolah.

       “Selamat pagi anak-anak. Kita hari ini belajar musikalisasi. Tapi sebelumnya, ada yang tau tidak, musik itu apa?” tanya bu Yosi kepada murid-murid. Spontan, seperti ada magnet yang menarik antara gue dan bu Yosi, seketika itu pula bu Yosi menatap ke arah gue.

       “Ungu, bisa kamu jelaskan pada ibu apa itu musik?”



       “Tidak bu. Saya tidak tau apapun tentang musik. Saya benci musik!”

       “Kenapa kamu berkata seperti itu? Ibu ingin kamu menikmati pelajaran ini, bukan sebaliknya.” Gue terdiam. Rasanya mulut ini tak mampu menjawab lagi. Mau ga mau gue harus mengikuti mata pelajaran itu.

       “Baiklah anak anak. Ibu akan jelaskan musik itu apa. Musik adalah irama hidup kalian sendiri. Musik itu bunyi yang indah. Salah besar jika diantara kalian yang membenci musik dalam hidupnya. Dalam keadaan sunyi sekalipun musik itu bisa kalian mainkan. Dan yang terpenting, musik bisa mengubah hidup seseorang menjadi lebih berwarna.” sesaat itu juga, gue langsung tertegun mendengar penjelasan bu Yosi. Gue ngerasa dipermalukan olehnya. Bagaimana mungkin gue bisa melakukan itu, pikirku. Sedangkan gue aja enekk banget ama itu musik. Persepsi gue, musik itu memecah keheningan. Memecah ketenangan. Gue benci dengan hal yang bisa memecahkan suasana. Dan yang paling penting, gue ga pernah merasakan hangatnya musik yang mengalun bersama orang orang yang spesial di hidup gue. Tidak terkecuali, nyokap bokap gue bukanlah keturunan musisi. Nyokap seorang psikolog, dan bokap seorang pengusaha. Itu sungguh tidak mungkin.

.... 

       Waktu berlalu. Hari demi hari. Waktu demi waktu. Tanpa terasa gue udah duduk dibangku kuliah. Gue mulai merasakan penatnya jadwal kuliah ini. Tapi walaupun begitu, gue masih tetap saja menikmati dengan damainya hidup sendiri. Gue memutuskan untuk tidak banyak berbaur dengan teman teman kuliah. Teman gue di SMA, Putri, memtuskan untuk kuliah di luar kota dan baru akan kembali setiap libur semester. Dan selama itu pula, gue tidak ingin mencari teman baru mengingat gue sedih dengan kepergian sahabat gue tercinta. Sampai pada akhirnya gue bertemu seseorang dalam satu kuliahku. Namanya Riza. Seorang cowok yang gue tau paling aneh gayanya dari cowok cowok seumurannya. Laptop selalu ia bawa dimanapun dia berada. Tidak terkecuali gitar kesayangannya. Sisiran rambutnya selalu dibelah tengah. Dia jarang sekali berbicara dengan teman temannya. Sekalipun, hanya sepatah kata saja yang ia ucapkan.kebetulan kami sekelas. Kami tidak banyak berbicara. Sesekali dia menatap gue dengan tampang aneh. Seperti baru melihat gue dari luar angkasa. Karena begitu asing baginya. Dari sekian teman teman yang ia kenal, tetapi setelah dia melihat gue, dia ngeliatin gue terus dengan heran.sampai pada suatu ketika, gue duduk termangu seperti biasa, seseorang menepuk pundak gue dari belakang.

       “Ngapain elo disini? ga punya teman ya?” tanya seseorang dari belakangku, dan kemudian menertawaiku.

       “Enggak. Emang kenapa? masalah buat elo? gue ga pernah ganggu elo sebelumnya kan?”

       “Oke. Gue pengen temenan aja sama elo. Niat gue baik. Kalo elo ga suka, gue bisa pergi dari sini.” seketika itu aku langsung merasakan hal yang berbeda. Matanya begitu tajam ketika ingin berjabat tangan denganku. Akhirnya, aku membalas jabatan tangannya dan kami berteman. Selang beberapa lama kami berteman, gue cukup nyaman dengannya. Pernah suatu ketika dia bertanya pada gue tentang makna yang tersirat di dalam nama gue. Saat itu gue cuma bisa diam dan sesaat kemudian gue tertawa.

       “Nama elo itu cakep. Jarang-jarang kan ada yang punya nama unik seperti itu. Gue rasa, nama elo itu sesuai dengan kepribadian elo. Kesepian. Semu. Pikiran elo itu kebanyakan diselimuti sama hal-hal yang khayal.” tutur Riza.

       “Mungkin elo banyak benernya Riz. Dari kecil, gue gapernah tau maksud nyokap gue ngasi nama itu. Yang jelas, nama itu ya sekedar nama. Dan gue emang paling doyan sama yang namanya melamun dan meghayal.”

       “Oh ya? Hemmm. Tapi kalo menurut gue, elo harus ngerubah hidup elo yang super aneh itu. Kalo seperti ini terus, elo ga akan pernah tau betapa indahnya hidup elo. Bahkan elo bisa lebih dari itu. Elo pernah bilang, elo paling benci sama yang namanya musik. Dan elo tau, salah satu indahnya hidup manusia adalah seni. Tanpa seni, manusia ga akan mengenal yang namanya kata “keindahan”. Dan musik itu adalah seni. Kalo elo ga percaya, elo dengerin gue nyanyiin sebuah lagu. Dan ini khusus buat elo.”

        Perlahan riza mengeluarkan gitar dari dalam tasnya. Dan mulai memainkan lagu yang masih asing ku dengar pada saat itu.

#Mungkin hanya ...

Lewat lagu ini...

Akan kunyatakan rasa...

Cintaku padamu, rinduku padamu,..

Tak bertepi..

#Mungkin hanya...

Sebuah lagu ini..

Yang slalu akan kunyanyikan..

Sebagai tanda..

Betapa aku, inginkan kamu..


       “Ungu, elo mau ga jadi pacar gue? Gue pengen buat elo bahagia kali ini. Gue janji gue ga akan buat elo ngerasa kesepian lagi. Sejak gue kenal elo, gue banyak belajar dari kehidupan orang yang selalu sepi dalam hidupnya. Mereka ga lagi bersedih, hanya saja, hidup mereka hampa. Ga pernah tau gimana merasakan hidup bahagia yang sebenarnya itu seperti apa. Dan gue pengen ngewujudkan itu sama elo. Elo mau kan?”

       Sentak mendengar ucapan Riza, gue terdiam dan ga bisa bergerak. Lidah gue ini terasa seperti dipaku. Sampai gue bener bener akhirnya ngerti dengan ucapan Riza. Dan gue pun menerimanya. Dan entah kenapa juga, gue langsung ngangguk denger ucapan riza. ”Aneh tapi nyata,” benakku.

       Tiga tahun sudah lamanya kami berpacaran. Dan sejak saat itu, hidup gue semakin jelas warnanya. Ungu tidak selalu semu. Tidak selalu menjadi kesepian. Tapi juga butuh warna warna lain untuk mengisi hari harinya dan bisa hidup karena kekhasan warnanya. Karena ungu tetap indah. Meski terkadang, terlihat seperti warna yang berbeda, namun tetap punya ciri khasnya tersendiri.


The End

Penulis:
Dwita Sundari (Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Medan)
Add Facebook-nya...

1 comment:

  1. Bagi yang sudah baca, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk tulisan selanjutnya.
    terimakasih :)

    ReplyDelete

Mohon tetap santun ya... Terimakasih.
(Please, be polite... Thanks.)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...